Rabu, 10 April 2019

Bedhaya Jemparing Panca Wiyasa

Bedhaya Jemparing Panca Wiyasa


Suara gamelan sayup-sayup mengalun diringi suara waranggana dengan lirik tembang pembuka menghantarkan masuknya 9 penari putri yang mirip satu dengan yang lainnya. Sejak ribuan tahun angka 9 menjadi symbol dalam peradapan manusia yang menjadi roh dan spirit dalam kehidupan manusia. Salah satunya angka ini digunakan dalam Bedhaya Jemparing Panca Wiyasa yang merupakan sebuah tari klasik gaya Yogyakarta yang menceritakan tentang khayangan yang akan diserang oleh pasukan Raja Raksasa Nilarudrana, tapi kemudian khayangan mengutus Shang Hyang Kamajaya untuk meminta bantuan kepada Bathara Guru yang sedang bertapa.



Dengan jemparing Panca Wiyasa (panah bunga yang dapat menimbulkan rasa rindu kepada pujaan hati), terusiklah Bathara Guru dalam pertapaannya, tapi setelah mengetahui siapa yang mengusiknya yang ternyata Kamajaya, dia marah besar.



Dengan mata ketiganya Bathara Guru, maka terbakarlah Kamajaya didepan Bethari Kamaratih kekasih Kamajaya. Karena sangat sayang kepada kekasihnya, maka dengan segenap hati ikut meleburkan diri didalam api yang membakar Kamajaya.



Permohonan para Dewa untuk menghidupkan mereka berdua disanggupi dengan cara dijadikan hanya sebagai spirit atau rohnya sebagai symbol cinta kasih dalam membawa kedamaian didunia ini


Bedhaya Jemparing Panca Wiyasa merupakan ciptaan dari Nyai Dra. RP. Aprianiwidyamardawa M. Hum yang diciptakan pada tahun 2018, yang semuanya ini terinspirasi dari cinta kasih, beliau yakin sekali bahwa cinta kasih akan membawa kelestarian dan kedamaian, yang kemudian digabung dengan cerita Mahabarata.



Tarian ini ditarikan pada Pagelaran Pariwisata di Pendopo Trajumas oleh Paguyuban Seni “Malem Seton” (Mirota Batik), yang merupakan sebuah acara rutin yang kali ini digelar, tepatnya pada tanggal 23 September 2018 pukul 11.00 wib yang bertujuan sebagai tontonan bagi wisatawan lokal maupun asing yang datang mengunjungi Kraton Yogyakarta. 

Selain itu, pagelaran ini sebagai tempat dan sarana ekspresi bagi seniman- seniman Yogyakarta.



Paguyuban Seni “Malem Seton” (Mirota Batik) merupakan sebuah paguyuban tari klasik gaya Yogyakarta yang berdiri pada tahun 2000. Base Campnya di Kota Baru dirumah Bapak Hamzah Mirota Batik. Disinilah kemudian menjadi wadah untuk latihan tari klasik gaya Yogyakarta khusus untuk wanita dewasa.



Bedhaya Jemparing Panca Wiyasa ditarikan oleh 9 penari wanita yang sejatinya adalah gambaran organ tubuh manusia secara utuh. Mulai dari otak manusia yang menjadi sumber ide dan kreatifita antara lain, kepala (mbatak), leher (jangga), dada (pendada), ekor (mbuntit), tangan kanan (apit ngajeng), tangan kiri (apit wingking), kaki kanan (endel wedalan ngajeng) dan kaki kiri (endel wedalan wingking).



Selain itu tari bedhaya juga menggambarkan 9 lubang yang ada ditubuh manusia, yang mempunyai makna kalau manusia sudah bisa menutup babagan hawa songo (menutup lubang napsu manusia) maka dia sudah dapat dikatakan sebagai manusia yang menep dan sareh.



Laku bedhaya mempunyai beberapa tahapan antara lain sebelum rakit tigo-tigo semuanya belum ada ceritanya, tapi semuanya itu harus diikuti dulu dari rakit ajeng-ajengan, mlebet lajur, medal lajur, ajeng-ajeng lagi, iring-iringan kemudian rakit tigo-tigo, suwuk baru masuk gelar.



Peran dalam Bedhaya Jemparing Panca Wiyasa ini adalah endel dan batak, bila perannya tiga berarti tambah gulu, bila perannya empat berarti tambah wedhalan ngajeng. Dalam hal ini Bedhaya Jemparing Panca Wiyasa perannya adalah endel dan batak (Kamajaya dan Kamaratih), Bathara Guru (Gulu). Kalau ada peran lagi yang dihadirkan seperti Raja Nilarudrana (Endhelan Ngajeng).



Gerak dalam Bedhaya Jemparing Panca Wiyasa ini memakai ragam gerak tari klasik putri gaya Yogyakarta yang mana gerak pokoknya itu ngeceng gordo dimana ada yang memakai sampur dan tidak memakai sampur, kemudian dikembangan berbagai motip gerak seperti gerak gordo astuminggah, pucang kanginan, jangkung lilih, gundhuh sekar yang kesemuanya itu mengikuti istilah dari alam seperti ombak banyu (ombak air) dan wedhi kenser (berjalan diatas pasir).


Busananya memakai jamang bulu kasuari (jamang srimpi), baju srimpi (bolero), kainnya parang tidak memakai ceplok gordo. Busana Bedhaya disini ada 3 macam, yaitu mekak rangkaiannya dengan rimong tepong, baju bolero dan dodot. Riasannya ada dua macam yaitu riasan mata jahit yang rangkainnya dengan jamang, tidak boleh pakai dodot hanya mekak dan baju bolero. Kemudian rias paes dengan gelung bokor, busananya bisa macam-macam seperti mekak dengan kelengkapan ilat-ilatan, rimong tepong lalu baju bolero dan dodot. Kelengkapannya menggunakan keris.



Iringan gendhingnya menggunakan gamelan klasik Jawa secara live show dengan gendhing-gendhing Gati Branta Wiwaha, Ketawang Suraloka Pelog barang, Ladrang Sayaka Pelog barang, Ayak-ayak Pelog barang dan Ketawang Sri Anala. Pelog barang.


Bedhaya Jemparing Panca Wiyasa


Persembahan :
Paguyuban Seni “Malem Seton” (Mirota Batik)

Koreografer :
Nyai Dra. RP. Aprianiwidyamardawa M. Hum

Penari :
Anggun Ida Mawadda ( Batak)
Della Febrina Yayan Putanti (Endhel)
Wahyuningrum (Apit Ngajeng)
Endang Setyaningsih (Apit Wingking)
Aprina Indria Mulyani (Gulu)
Nur Diani Harjiati (Wedhalan Ngajeng)
Sri Mulyo Istiyaningsih (Wedhalan Wingking)
Riana Nofrita Yhani S (Dadha)
Galih Prakasiwi (Bunthil)

Penata Iringan :
Anom Suneko Baksono S.Sn.M.Sn



Sebuah pesan cinta kasih yang tergambar dalam sebuah bahasa tari dengan Bedhaya Jemparing Panca Wiyasa yang harus diteladani karena semua itu akan membawa berkah dan kedamaian, kalau tidak ada cinta kasih maka semua tidak akan selesai dan tidak ada kedamaian di dunia ini, ujar Nyai Dra. RP. Aprianiwidyamardawa M. Hum. 
(Soebijanto/reog biyan)












Tidak ada komentar:

Posting Komentar